Visualindonesia.com,-
Orkestra mengalun, fanfare tercipta khusus, dan layar lebar menyala. malam itu, Sasono Langen Budoyo di Taman Mini Indonesia Indah bukan sekadar venue penganugerahan, melainkan saksi bisu lahirnya gelombang baru dalam ekosistem perfilman Indonesia yang datang dari tempat paling tak terduga: pesantren.
Santri Film Festival (SANFFEST) 2025 yang digelar Minggu (21/12/2025) malam membuktikan bahwa kreativitas tidak mengenal batas institusi. Di balik jubah dan kitab kuning, para santri dari berbagai penjuru Nusantara menghadirkan karya sinematik yang melampaui ekspektasi, mendobrak stigma lama yang selama ini melekat.
Neno Warisman, Ketua Komite SANFFEST 2025 yang akrab disapa Bunda Neno, mengungkapkan perjalanan menuju malam puncak tersebut bukanlah hal mudah. Selama kurang lebih dua bulan sejak ta’aruf pada 21 Oktober hingga malam penganugerahan, tim SANFFEST menjalani maraton siang malam, mendampingi santri di berbagai daerah, melakukan kurasi, penjurian, hingga menyiapkan standar baru dalam dunia penganugerahan film Indonesia.
“Ini benar-benar maraton, siang dan malam. Kami mendampingi santri di berbagai daerah, lalu berlanjut ke proses kurasi, penjurian, dan akhirnya penganugerahan,” ujar Neno.

Tantangan terbesar, menurutnya, adalah membangun brand baru dalam dunia penganugerahan film dengan standar berbeda dari ajang penghargaan umumnya.
SANFFEST menghadirkan orkestra dan paduan suara secara langsung, termasuk fanfare yang diciptakan dan dimainkan live, bukan sekadar playback atau musik siap pakai.
Keputusan ini bukan tanpa alasan. “Di SANFFEST, semuanya live dan dibuat sendiri. Ini bukan hal mudah, tetapi penting untuk membangun identitas dan standar baru,” jelas Bunda Neno.
Yang lebih membanggakan adalah kualitas karya para santri yang ditampilkan. Neno mengaku terkejut sekaligus terharu melihat film-film tersebut, baik dari sisi visual, poster, maupun kekuatan narasi.
“Selama ini ada stigma bahwa santri hanya belajar kitab. Namun, film-film ini menunjukkan bahwa mereka mampu menghadirkan narasi baru yang kuat dan segar. Ini bisa menjadi gelombang baru dalam ekosistem perfilman Indonesia,” katanya.
Antusiasme para santri pun luar biasa tinggi. Meski panitia menghadapi keterbatasan dalam menghadirkan seluruh nominator dari berbagai daerah, banyak peserta hadir secara mandiri, menempuh perjalanan jauh dari Wonosobo, Makassar, hingga wilayah lainnya tanpa mempersoalkan hasil akhir.
“Bagi mereka, hadir dan menjadi bagian dari SANFFEST sudah menjadi kebanggaan tersendiri. Ada yang bahkan rela menginap seadanya,” tutur Bunda Neno dengan haru.
Festival ini juga membuka pintu bagi santri untuk masuk ke ekosistem ekonomi kreatif. Sejumlah pihak termasuk Kementerian Kebudayaan, komunitas perfilman, dan civil society menyatakan komitmen mendukung talenta santri melalui pendidikan, beasiswa, hingga penayangan karya.
Platform Lokalfilm, misalnya, telah bersedia menayangkan seluruh film nominasi sehingga para santri memperoleh pengalaman profesional sekaligus pendapatan dari karya mereka.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang hadir dalam acara tersebut menegaskan, santri tidak hanya menjadi pewaris tradisi pesantren, tetapi juga aktor penting dalam membangun dan mempromosikan kebudayaan Indonesia melalui medium film.
“Pesantren selama ini telah melahirkan beragam karya sastra, seni pertunjukan, dan musik. Kini kita juga sedang membangun ekosistem film di pesantren,” ujar Fadli Zon di hadapan para peserta, tamu undangan, dan insan perfilman.
Malam Anugerah SANFFEST 2025 pun berakhir dengan pemberian piala kepada para pemenang dari berbagai kategori. Film “Iman dan Imam” dari Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, Jawa Timur, menjadi bintang malam itu dengan meraih tiga penghargaan sekaligus: Film Cerita Terbaik, Penyutradaraan Terbaik, dan Penata Busana dan Tata Rias Terbaik.
Kategori lainnya tersebar ke berbagai pesantren. Anugerah Pengarah Artistik Terbaik jatuh ke tangan film “Zahra” dari MA Zainul Hasan 1 Genggong. Film “Tujuh Hari Setelah Bapak Berpulang” dari Pondok Pesantren Bahrul Huda, Bangka, meraih dua penghargaan untuk Sinematografi Terbaik dan Pemeran Putra Terbaik.
Sementara itu, film “Kesempatan” dari Pesantren Modern Khalifah, Jawa Barat, menyabet Anugerah Penyunting Gambar Terbaik.
Penghargaan Pemeran Putri Terbaik diberikan kepada film “Iqob (Hukuman)” dari Darul Arqam Gombara, dan Anugerah Penata Suara Terbaik jatuh kepada film “Raja(h) Terakhir” dari Pondok Pesantren Al Hidayah Karangploso, Jawa Timur.
Bunda Neno berharap SANFFEST dapat terus berlanjut dan menjadi agenda tahunan nasional. Ia menyebut adanya sinyal positif dari Kementerian Kebudayaan untuk menjadikan SANFFEST sebagai ajang rutin, sejajar dengan festival dan penghargaan film nasional lainnya.
“Kami berharap, SANFFEST menjadi rumah bersama bagi kreativitas santri, tempat mereka tumbuh, diasuh, dan diberi ruang untuk bermimpi lebih besar,” tuturnya memungkasi.
(*/cia; foto: mm/ist





