Visualindonesia.com,-
Di tengah sorotan sinema global, sutradara Indonesia Joko Anwar resmi menerima penghargaan kehormatan tertinggi Prancis di bidang seni dan sastra: Chevalier de l’Ordre des Arts et des Lettres.
Penghargaan bergengsi ini disematkan langsung oleh Menteri Kebudayaan Prancis, Rachida Dati, dalam upacara resmi di Paris pada Kamis malam, 11 Desember 2025, menandai momen bersejarah bagi perfilman Tanah Air.
Penghargaan ini bukan sekadar apresiasi estetika, melainkan pengakuan atas dua dekade kontribusi Joko Anwar yang konsisten mengangkat isu sosial lewat kemasan genre populer (dari horor hingga komedi) tanpa kehilangan kedalaman naratif.
Karyanya tak hanya mendominasi box office di Indonesia, tetapi juga tampil di festival film internasional ternama seperti Venice, Toronto, hingga Busan, membuktikan bahwa sinema Indonesia mampu berdialog dengan audiens global.

Dalam sambutannya, Menteri Rachida Dati menyoroti kepiawaian Joko Anwar dalam menjadikan film sebagai medium yang “sangat aksesibel” sekaligus sarat makna.
“Dedikasi dan komitmennya telah berkontribusi pada kemajuan perfilman Indonesia, sekaligus memperkaya dialog sinema dunia,” ujarnya — menempatkan sang sutradara dalam jajaran legenda seperti Martin Scorsese, Hayao Miyazaki, dan Meryl Streep yang sebelumnya menerima tanda kehormatan serupa.
Ordre des Arts et des Lettres, yang didirikan pada 1957, memang hanya diberikan kepada figur yang secara nyata memajukan seni dan budaya lintas batas.
Bagi Joko, penghargaan ini menjadi validasi atas pendekatannya yang tak biasa: menggunakan horor sebagai cermin ketakutan sosial, thriller sebagai kritik kekuasaan, dan komedi sebagai jembatan ke empati.
“Melalui cerita-cerita yang dibungkus dalam genre, saya berusaha membicarakan hal-hal yang sering kali sulit dibicarakan secara langsung, tentang ketidakadilan, kekuasaan, dan hubungan manusia dengan lingkungan,” ungkapnya dalam pidato penerimaan yang penuh refleksi.
Kini, di puncak pengakuan internasional ini, Joko Anwar tengah mempersiapkan rilis film keduabelasnya, “Ghost in the Cell”, yang dijadwalkan tayang pada 2026.
Mengusung gabungan horor dan komedi dengan latar penjara sebagai metafora, film tersebut akan kembali menggali isu kerusakan lingkungan, korupsi struktural, dan tanggung jawab moral, menunjukkan bahwa baginya, menghibur dan menggugah kesadaran bukanlah pilihan, melainkan satu kesatuan.
“Ini bagian dari percakapan yang sama yang selama ini ingin saya bangun lewat film-film saya,” tegasnya.
Dengan pencapaian ini, Joko Anwar tak hanya membawa nama Indonesia ke panggung budaya dunia, tetapi juga mengukuhkan sinema genre sebagai sarana kritik sosial yang relevan dan sangat manusiawi.
(*/cia; foto: ist





