Perupa Muda Menguak Toeti Heraty

by -
Suasana peresmian pembukaan pameran Kemilau 92 Tahun Toeti Heraty di Cemara 9 Galeri, Jakarta.

Visualindonesia.com,-

Prof. Dr. Toeti Heraty (1933-2021), semasa hidupnya dikenal sebagai salah satu tokoh perempuan terkemuka Indonesia dengan seabrek predikat: filosof dan Dosen Filsafat di Universitas Indonesia, penyair, budayawan, founder Museum dan Cemara 6 Galeri, kolektor, hingga mantan Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Ketua Dewan Kesenian Jakarta, dan anggota Akademisi Jakarta nyaris seumur hidup.

Pada tanggal 27 November 2025, diperingati ulang tahunnya bertajuk Kemilau 92 Tahun Toeti Heraty, dengan menggelar pameran seni rupa berjudul Menguak Pretensi, hingga 7 Desember 2025. Hal itu sebagai upaya merawat  warisan intelektual dan kultural almarhumah bagi generasi hari ini.

Menampilkan puluhan karya seni rupa kontemporer, kreasi tiga perupa muda Jakarta: Aisha Kastolan, Nadhief Ashr dan Ruth A. Kaligis. Masing-masing menampilkan karya residensi berbasis puisi-puisi karya almarhumah, ditambah dengan karya-karya mereka yang lain di luar residensi. Sebutlah ketiga perupa itu emerging artist yang belum “terjerat pasar”.

Yang menarik ketiga perupa muda itu, dan kedua kuratornya tidak pernah ketemu almarhumah, karena berbeda generasi. Mereka hanya berdialog melalui buku biografi, esai-esai, dan buku puisi Toeti Heraty bertajuk Mimpi dan Pretensi (Balai Pustaka, 1983).

Perupa Ruth A. Kaligis bersama karyanya “Kelana Puan”.

Dengan begitu mereka malah bebas menafsir dan menguak Toeti Heraty. Sebebas Ni Made Purnama Sari, Anzar Mustikawati menafsir dan membaca puisi-puisinya dengan iringan musik Anis Nur Hikmawati.

Dalam ruang pamer, terlihat beberapa lukisan kucing dengan aneka gestur:  tiduran bersama di kursi, siap menerkam, hingga melompat. Nadhief, melukis kucing-kucing di di rumahnya itu, sebagai simbol anak-anak, usai menyelami puisi Toeti berjudul “Selesai” terutama di baris terakhir: //suatu saat toh harus ditinggalkan/dunia yang itu-itu juga…//dunia ini nyata/sebentar lagi anak-anak pulang dari pesta//

Meskipun penggarapan visualnya tidak sedetil karya-karya lainnya yang digarap di luar residensi, di antaranya “Isolation” karya TA (tugas akhir) saat kuliah di Institut Kesenian Jakarta, kucing-kucingnya itu menarik dari segi gestur. Ditunjang oleh pemajangannya yang “senakal” kucing, menyebar di beberapa ruang, pamer, yang kemudian terasa sebagai benang merah, menghubungkan karya tiga perupa.

Aisha Kastolan yang masih duduk di bangku IKJ, menampilkan karya-karya dua dan tiga dimensi, berupa sketsa perempuan bergerak yang kemudian menjadi dasar karya residensinya berupa patung kecil berjudul “Rust of Resilience” (2025), bermedium resin berukuran 38 X 30,5X 39,3 cm.

Kurator Nirwan Sambudi dan Bagus Purwoadi berbincang dengan perupa Nadhief, Ruth dan Aisya.

Baginya yang sedang mencari jati diri, karya ini bicara tentang ketahanan dan kesabaran, seperti yang disuarakan dalam puisi-puisi Toeti Heraty, dan dalam memperjuangkan bangsanya, khususnya kaum perempuan.

Perupa Ruth A. Kaligis, lulusan ISI Yogyakarta, justru tertarik pada aktivitas perjalanan Toeti terutama dalam bidang feminism. Karena itulah ia menampilkan karya residensinya berjudul “Kelana Puan”. Jika biasanya ia menggunakan medium resin, pada karya ini menggunakan medium bubur kertas pada triplek, untuk menggambarkan ironi inferior perempuan di matanya.

Selain itu dengan medium ini, seperti ia ingin “membebaskan” diri dari pengaruh bentuk pematung seniornya, yang ada pada karyanya sebelum residensi: “Motherhood Series III” (2022), “Prejudice”(2024), dll. Tapi karyanya ini terasa belum selesai, boleh jadi karena terbatasnya waktu residensi. Menarik kiranya Ruth mau melanjutkan eksplorasinya masih dengan puisi Toeti Heraty , khususnya “Dua Wanita”(1973), frasa  //…ada topeng di dinding belakang…//

Walhasil, duet kurator Bagus Purwoadi dan Nirwan Saamhudi, dalam memilih tiga perupa muda tersebut, terinspirasi oleh sikap Toeti Heraty pertengahan 1970-an. Sebagai modernis tulen, namun cenderung berpihak pada Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI) 1975.

Sedangkan kawan-kawan segenerasinya malah banyak yang mengadili gagasan dan ekspresi para seniman muda, yang ketika itu masih mahasiswa. Sayangnya citra itu tidak muncul dalam pameran ini, ketika yang dimunculkan kurator justru koleksi almarhumah yakni lukisan “Wanita dan Angsa” karya Suparto.

(*/yusuf susilo hartono; foto: ysh

Leave a Reply

No More Posts Available.

No more pages to load.