Visualindonesia.com,-
Di tengah riuhnya belantika musik Indonesia, di mana melodi seringkali hanya membuai telinga tanpa menyentuh kedalaman jiwa, muncul sebuah karya yang berani menantang arus.
Daniel Dyonisius dan Varnasvara merilis single terbaru mereka, ‘Wanita’, sebuah komposisi orisinal yang tidak hanya menawarkan pengalaman musikal, tetapi juga sebuah renungan mendalam tentang kehidupan, kematian, dan jalinan tak kasat mata antara dunia fisik dan spiritual.
Lagu ini menjadi kelanjutan narasi kontemplatif yang sebelumnya diusung dalam ‘Relung’ dan ‘Kinasih’, namun kali ini dengan sentuhan historis yang lebih tajam.
‘Wanita’ lahir dari kegelisahan terhadap maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan di masyarakat, namun dengan sudut pandang yang lebih jauh menelisik masa lalu.
Daniel Dyonisius secara cerdik menganyam lirik yang berganti antara narasi orang ketiga dan kedua, mengisahkan kematian tragis Ita Martadinata, seorang aktivis yang gigih membela korban kekerasan dalam tragedi Mei 1998 di Indonesia.
Lagu ini tak sekadar menyoroti kekerasan, melainkan juga menginterpretasikan Kerusuhan 1998 sebagai katalisator demokrasi, sebuah alegori tentang maskulinitas, naluri hewani manusia, iblis batiniah, dan peran paradoks kekerasan dalam memicu perubahan menuju kebebasan dari penindasan.
Penggunaan efek tremolo di sepanjang lagu bukan hanya elemen musikal, melainkan kiasan pilu yang menggambarkan kehancuran tubuh perempuan akibat kekerasan, menciptakan resonansi emosional yang kuat bagi pendengarnya.
Lebih dari sekadar memotret luka, ‘Wanita’ juga menyuarakan tema trauma antargenerasi dan proses pemulihan, khususnya bagi perempuan Tionghoa Indonesia yang menjadi korban kekerasan massal dan kerusuhan sipil pada tahun 1998.
Lagu ini hadir sebagai katarsis, menawarkan resolusi atas konflik yang diangkatnya. Bagian outro lagu melukiskan pembebasan jiwa Ita dari belenggu fisik, namun keberaniannya tetap abadi, melampaui kefanaan raga manusia.
Semangatnya secara paradoks justru menginspirasi perjuangan menuju kebebasan yang lebih utuh.
Kisah heroik ini dibalut dalam balutan suara eksperimental yang kaya, melibatkan Daniel Dyonisius sendiri pada gitar, vokal, bass, dan rindik, bersama Ursulla Serenakartika (vokal), Darlene Kawilarang (piano, synthesizer), Seto Noviantoro (kacapi), AU Agus Maulana (kendang, rebana), I Ketut Budiyasa (rindik), Kadek Arya Gitaswara (rindik), dan Kelvin Andreas (drum).
(*/ell; foto: ist





