Visualindonesia.com,-
Yusuf Susilo Hartono
Perkumpulan kesenian Miss Tjitjih (berdiri 1928) dari kultur Sunda, dan Wayang Orang Bharata (berdiri 1972) dari kultur Jawa, dengan segala dinamikanya, tetap manggung sampai hari ini, di tengah-tengah kerasnya Kota Metropolitan Jakarta yang multi kultur.
Di balik gebyarnya lampu sorot pertunjukan Miss Tjitjih di Gedung Kesenian Miss Tjitjih Cempaka Putih, dan Gedung Wayang Orang Bharata di Senen, ada pergulatan eksistensial yang keras juga. Campur aduk antara tekad melestarikan warisan leluhur masing-masing kultur, dengan realitas dinamika kota metropolitan dengan budaya urban yang multi kultur.
Para tokoh dan pelakunya adalah manusia-manusia “otot kawat balung wesi”, berotot kawat, bertulang besi, yang menjadikan panggung dan budaya daerah (Sunda dan Jawa), sebagai jalan hidupnya berpuluh-puluh tahun di Ibu Kota Republik Indonesia.
Kepada keluarga dan anak-anaknya mereka mengajarkan lakon (hidup dan panggung), tembang, tari, dan musik. Selain itu mengajak mereka semua “habis-habisan” untuk melestarikan tradisi. Dengan cara pentas rutin, menghibur penonton, agar bisa mendapatkan penghasilan untuk mencukupi kehidupan sehari-hari.

Kini, para tokoh Miss Tjitjih dan Wayang Orang Bharata sudah menua: 60-an dan 70-an tahun. Secara alamiah kemampuan fisik sudah menurun, meski semangat tetap menyala. Sementara anak-anak mereka yang 80 persen persen lahir di Jakarta, kurang menguasai budaya leluhur Sunda dan Jawa (khususnya keterampilan berbahasa Jawa kromo inggil, dan kawi).
Maklum, baik di sekolah, masyarakat, dan keluarga, mereka tidak berkomunikasi dengan bahasa daerah Sunda dan Jawa, melainkan berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Sementara di manapun mereka dikepung oleh bahasa Inggris, terutama di media media sosial.
Oleh karena itu, jika generasi sebelumnya dalam memainkan cerita berbasis tradisi lisan dan improvisasi, generasi Miss Titjih dan Bharata saat ini, mulai bergeser dari tradisi lisan ke tradisi tulis, yang berbasis teks naskah. Mereka harus menghafal naskah, dan kemampuan improvisasi menjadi berkurang dan terbatasi durasi. Padahal kekuatan seni tradisi teretak pada kemampuan improviasi pemain (aktor/aktris)-nya dalam memainkan karakter dan mengembangkan ceritanya di panggung.
“Lucu. Seringkali mereka hafal dialognya, tapi tidak tahu apa makna kata-kata yang sudah mereka ucapkan,” seloroh Aris Mukadi, salah seorang maestro Wayang Orang Bharata dalam diskusi di sela Panggung Maestro ke-10, di Gedung Kesenian Jakarta, belum lama ini.
Di kalangan penonton kesenian tradisi di Jakarta, juga banyak mengalami perubahan selera. Dipicu oleh banyak faktor, mulai dari adanya kendala komunikasi (bahasa daerah), kemacetan lalu lintas menuju gedung pertunjukan, harus membeli tiket, sedangkan realitas yang kini cenderung menguat adalah banyaknya hiburan gratis yang bisa diperoleh dari media sosial, di telpon genggam.

Menghadapi situasi seperti itu, Miss Tjitjih dan Wayang Orang Bharata, terus berbenah. Antara lain dalam pertunjukan yang disajikan kepada public secara berbayar, meskipun ceritanya sama, dialognya dikurangi, sedangkan gerak dan tariannya ditambah banyak/panjang. Selain itu disisipnya humor lewat tokoh-tokohnya yang ada, supaya penonton tidak jenuh.
Sebagai bukti aktual, bagaimana kepiawaian Perkumpulan Miss Tjitjih, dan Wayang Orang Bharata, dapat dilihat dalam Panggung Maestro ke-10 yang digelar Yayasan Bali Punati dengan dukungan Kementerian Kebudayaan RI, di Gedung Kesenian Jakarta, pertengahan Desember 2025. Miss Tjitjih mementaskan lakon “Sangkuriang”, dan Wayang Orang Bharata memainkan lakon “Kikis Tunggorono”, dengan durasi total sekitar 90 menit. Durasi itu, di luar acara selebrasi bersama Wakil Menteri Kebudayaan, Giring Ganesha.
Saat ini, baik Perkumpulan Kesenian Miss Tjitjih dan Wayang Orang Bharata sedang bekerja keras melakukan proses pewarisan, dalam bentuk pengetahuan dan alih keterampilan kepada generasi penerus, melalui pendidikan (pelatihan). Misalnya saja dalam menari, menyanyi (nembang), merias, bermain musik, hingga dalam berbahasa daerah.
Nah, untuk mempercepat proses pewarisan tersebut, para maestro Miss Tjitjih maupun Wayang Orang Bharata, ingin Gubernur Provinsi Jakarta hadir dan turun tangan memfasilitasi berbagai pelatihan sebagai proses pewarisan.
(*; foto: ysh







