Visualindonesia.com,-
Oleh: Yusuf Susilo Hartono
Kesedihannya tentang bencana alam di Sumatera belum semua habis diceritakan, Romo FX Mudji Sutrisno SJ (71 tahun), keburu dipanggil Tuhan, Senin (28/12/2025) malam. Jenazahnya akan dimakamkan di Taman Maria Ratu Damai, Girisonta, Semarang (31/12/2025), setelah disemayamkan di Kapel Kolese Kanisius Jakarta (29-30/12/2025).
Rohaniwan Jesuit, yang sehari-hari tampil sederhana dan “nyeniman”, dikenal sebagai budayawan intelektual yang menjembatani iman, filsafat, budaya, seni, dan kebangsaan melalui pengajaran, tulisan, serta keterlibatan publik. Kontribusinya mencakup berbagai bidang yang saling terkait, mencerminkan komitmennya pada pluralisme Indonesia.
Romo Mudji mempraktikkan dialog lintas iman dan budaya secara konsisten untuk merawat pluralisme di masyarakat majemuk Indonesia. Ia sering menekankan agama sebagai sumber perdamaian dan menghargai nilai kebudayaan dalam beragama, sejalan dengan keberagamaan inklusif. Fakta menunjukkan, pendekatannya ini membuatnya diterima luas melampaui komunitas Indonesia.
Sebagai budayawan dan seniman, Romo Mudji menulis puluhan buku filsafat serta kritik sosial sejak 1983. Ia pernah terlibat dalam tim penilai Penghargaan Kebudayaan Presiden RI serta menggelar pameran sketsa yang merefleksikan perjalanan spiritualnya. Tulisan dan buku-bukunya sering membahas estetika iman dalam konteks sosial Indonesia.

Romo Mudji mengajar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta dan Universitas Indonesia (UI), dengan gelar doktor dari Universitas Kepausan Gregoriana, Roma. Ia mendorong mahasiswa berpikir kritis tentang etika, kemanusiaan, dan iman dalam kehidupan modern. Hingga akhir hayat, beliau tetap aktif sebagai dosen yang dekat dengan mahasiswa.
Semasa hidup, Romo Mudji pernah menjabat anggota KPU (2001-2003), namun mundur demi menunjukkan prioritas moral atas jabatan publik. Ia juga bergabung dalam Komisi Kebenaran dan Persahabatan (2005-2006), memperkaya diskursus etika demokrasi dan nasionalisme. Kontribusinya menegaskan bahwa demokrasi sebagai praktik moral berpihak pada yang lemah.
Meninggalkan Warisan
Saat menghadap Tuhan, Romo FX Mudji Sutrisno SJ tidak membawa apa-apa dan semua warisannya ditinggalkan, mencakup karya seni bendawi seperti sketsa dan lukisan, serta non-bendawi berupa buku filsafat, puisi, dan pemikiran intelektual. Warisan ini sarat makna kemanusiaan melalui refleksi spiritualitas inklusif, kebudayaan lewat estetika Indonesia, serta ilmu pengetahuan via filsafat etika dan demokrasi.
Warisan bendawi berupa sketsa dan lukisan dari pameran tunggal seperti “Dari Gereja ke Gereja” (2025, di Balai Budaya Jakarta) menangkap esensi misa, estetika Indonesia, dan pengasahan bakat sebagai rasa syukur kepada Tuhan. Pameran dari “Stupa ke Stupa” (2014) di TIM dengan 104 sketsa stupa merefleksikan perjalanan spiritual lintas budaya. Karya lain termasuk “Kumandang ing Sepi” (2017-2018, berbagai galeri) dan “Paskah Gabah: Via Crucis” (2016) yang mengekspresikan sunyi, kontemplasi dan ziarah.
Ditinggalkan pula, puluhan buku filsafat dan kritik budaya, seperti “Krisis Peradaban” (2013), “Ranah-ranah Estetika” (2011), “Hermeneutika dan Estetika” (2011), “Hermeneutika Pascakolonial” (2005) , dan “Zen Buddhis: Ketimuran dan Paradoks Spiritual” (2002), yang mengintegrasikan iman, etika, dan identitas Indonesia.
Kumpulan puisi seperti “Sunya” (2005), “Sunyi Yang Berbisik” (2020), dan “Malam Tak Jadi Purnama” (2010), menyuarakan spiritualitas dalam bahasa Jawa dan Indonesia.
Jika ditarik benang merah, warisan Romo Mudji menekankan dialog lintas iman melalui seni dan filsafat, mempromosikan perdamaian di masyarakat majemuk serta penghargaan terhadap kelemahan manusia. Secara kebudayaan, karya-karyanya merevitalisasi estetika lokal seperti stupa dan gereja sebagai simbol kesatuan. (Dari berbagai sumber)
(*/foto: mm






